Kenaikan Biaya Apoteker UI 2015: Suatu Keniscayaan?

Sebelumnya, saya ingin menceritakan bahwa maksud tulisan ini adalah upaya untuk menggambarkan secara utuh (atau setidaknya secara umum) isu yang menjadi judul tulisan ini. Sejak saya mendapatkan jarkom yang dibuat oleh Abdelhaq Setya Subarkah (FF 2011) kemarin malam, isu ini tidak bisa lepas dari pikiran saya. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk menuliskannya. Barangkali dengan adanya tulisan ini, (saya berharap agar) ada langkah kongkrit dari masing-masing pihak terkait untuk segera menyelesaikan permasalahannya. Tidak lupa saya ingin menyampaikan bahwa apabila ada kekurangan di dalam tulisan ini, maka hal itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan saya. Tapi sekali lagi, saya berharap ini merupakan salah satu hal yang bisa berkontribusi positif (dan semoga tidak memperkeruh suasana) dari apa yang baru saja terjadi dari fakultas bermakara biru hijau ini.

*nb: bila ada hal-hal yang menyangkut ranah personal dalam tulisan ini, saya memohon maaf sebelumnya. Karena saya sendiri meniatkan untuk fokus kepada isu, bukan kepada pihak-pihak terkait; sekalipun hal ini tidak bisa dilepaskan begitu saja. Tulisan ini cukup panjang dan terdiri dari 3 bagian: 1) jarkoman Abdel, 2) konfirmasi Kholid dan 3) Opini Pribadi . Karena itu, saya berharap para pembaca dapat menyelesaikannya sampai akhir.

 


 

BAGIAN 1: JARKOMAN ABDEL

Saya mengawali tulisan ini dari broadcast message yang tersebar di sosial media. Bila ada tulisan dalam tanda kurung dan bercetak miring, maka itu adalah ‘tafsiran” saya pribadi terhadap jarkoman tersebut. Untuk jarkomannya sendiri akhirnya saya menebalkannya untuk membedakannya dari “tafsiran” saya di dalamnya. Berikut adalah jarkoman yang tersebar tersebut:

Bismillahirrahmanirrahim.

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

 

Lagi-lagi tahun ini biaya apoteker FF UI menjadi membuat masalah untuk angkatan yang akan mengambilnya – pada tahun ini 2011. Semenjak tahun 2013 hingga saat ini selalu saja mengalami kenaikan. Dan kenaikan itu selalu dilakukan dengan mendadak (mungkin maksudnya adalah pemberitahuan dari kenaikan biaya tersebut atau dengan kata lain sosialisasi kebijakannya). Ya, 6 Agustus 2015 lalu, pihak dekanat memutuskan menaikkan biaya APT (singkatan gelar dari apoteker) sebesar 1 juta rupiah (menjadi 11 juta)

Apa logika yang dipakai oleh pihak dekanat ketika dikabarkan biaya APT naik menjadi 11 juta pada saat H-2 tenggat akhir pembayaran? (ini adalah salah satu pertanyaan ontologis yang penting untuk dijawab; dan sayangnya kurang diperlihatkan jawabannya pada jarkoman ini. Dalam hal tersebut, saya akan berusaha menjawabnya di bagian selanjutnya dari tulisan ini). Tanggal 8 Agustus 2015, pada awalnya adalah hari terakhir batas pembayaran. Namun setelah dilakukan advokasi oleh berbagai pihak (MWA UI UM, Adkesma BEM UI dan BEM FIK), batas akhir pembayaran menjadi tanggal 12 Agustus 2015. (saya mengasumsikan bahwa advokasi ini bertujuan untuk memberi kesempatan waktu lebih bagi para mahasiswa untuk melunasi pembayaran setelah adanya kebijakan baru).

Yang menjadi permasalahan di sini adalah, kenaikan biaya apoteker yang mendadak ini tidak diiringi dengan sikap yang strategis dari BEM FF UI 2015 (Ini adalah permasalahan lain yang berbeda dari isu yang dilempar di awal, yaitu kenaikan biaya yang harus ditanggung peserta didik. Jika membaca jarkoman ini secara utuh, maka BEM FF sendiri dalam menanggapi isu ini sudah diwakilkan oleh Kepala Departemen Advokasi Kesejahteraan Mahasiswa atau Kadept Adkesma). Saya pribadi mengucapkan terima kasih kepada Afina, Dini, Hendriq, Astrid, Rezqi, Iwin dan teman-teman 2011 atas segala bantuannya untuk menolak kenaikan biaya apoteker. (Saya memercayai dan meyakini tidak ada mahasiswa yang tidak akan menolak atas isu kenaikan biaya perkuliahan mereka, apalagi pihak BEM yang dianggap sebagai tameng untuk menghadapi kezaliman berbagai kebijakan kampus. Ah ya, sekalipun berasal dari FISIP, saya pun menolak kenaikan biaya apoteker ini, dengan catatan bila memang tanpa ada alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Saya pribadi berharap mahasiswa FF dapat bersatu tanpa harus disekat oleh angkatan apalagi jabatan atau kelembagaan)

Berikut kronologis perjuangan dari biaya apoteker tahun ini

6 Agustus 2015

Sesaat setelah diumumkan kenaikan biaya apoteker (oleh dekanat berdasarkan SK Rektor, saya mendapatkan informasi ini dari Kholid), saya menghubung Kholid selaku Ketua BEM FF UI 2015 dan Afina menghubungi Rezqi selaku KaDept. Adkesma BEM FF UI 2015.

Keesokan harinya Adina, Rezqi, dan saya bertemu untuk membahas tindak lanjut mengenai kejadian ini. Pada pertemuan ini entah apa kesibukannya, Ketua BEM FF UI tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Rezqi pun tidak tahu di mana keberadaan Kholid. Apakah ada urusan lain yang baginya lebih penting dibandingkan persoalan biaya apoteker pada saat itu? (saya mengasumsikan implementasi kebijakan yang mendadak ini sangat berpengaruh atas perencanaan dan prioritas seorang Kholid. Saya pun tidak tahu kesibukannya apa. Faktor mendadak menjadi hal yang patut dijadikan tolak ukur utama atas ketidakhadiran Kholid. Untungnya, hal tersebut sudah diwakilkan oleh KaDept Adkesma, dan bagi saya itu cukup. Selanjutnya adalah tinggal bagaimana mekanisme komunikasi internal antara Ketua BEM dan struktur di bawahnya)

Hasil dari pertemuan ini adalah Rezqi menargetkan minggu pagi dari pihak BEM FF UI akan membuat propaganda atas kejadian ini. Namun terlebih dahulu Rezqi merasa bahwa akan sangat penting untuk dibicarakan ditingkat PI (Pengurus Inti) untuk propagandanya. Sangat disayangkan ternyata sampai saat ini, rencana propaganda biaya apoteker belum dikabarkan oleh pihak BEM FF UI. Dari pertemuan ini juga disepakati bahwa hari SENIN, kita (2011 dan BEM FF UI) akan menanyakan secara langsung kepada Dekan. (saya pun sangat menyayangkan bahwa informasi yang saya peroleh ternyata didapatkan dari jarkom “sporadis” yang disebarkan di dunia sosial media, bukan berasal dari pihak lembaga resmi seperti pihak fakultas atau dekanat; maupun lembaga kemahasiswaan baik tingkat fakultas maupun UI)

Senin pagi, perwakilan 2011 (Abdel Hendriq, Dini, Afina, Astrid) dan BEM FF UI (Rezqi seorang) bersiap untuk menanyakan secara langsung kepada Dekan FF UI. Saya pribadi kecewa atas ketidakhadiran Kholid selaku Ketua BEM FF UI 2015 pada pertemuan kali ini berhadapan dengan Dekan. Saat saya menghubunginya ternyata beliau sedang persiapan untuk berangkat PIMFI. Lalu saya tanyakan apakah Kholid mengetahui adanya pertemuan ini, beliau menjawab tidak tahu. Entah apa yang terjadi di BEM FF UI 2015, padahal seharusnya Erik selaku Wakil Ketua BEM FF UI 2015 sudah mengetahui adanya rencana ini (Saya tidak mengetahui dari mana Abdel berasumsi bahwa wakil ketua BEM sudah mengetahui rencana ini. Belakangan saya mendapatkan informasi dari Hendriq [FF 2011] bahwa Erik berada dalam satu grup sosmed yang membahas rencana pertemuan ini; di mana Kholid tidak ada di dalamnya. Jadi diasumsikan bahwa wakil ketua BEM FF telah mengetahui rencana pertemuan ini sebelumnya). Sampai di akhir persiapan untuk menemui Pak Dekan, Kholid maupun Erik tidak menghadiri pertemuan ini dan tidak ikut bertemu dengan Dekan FF UI.

Mungkin memang ada agenda yang lebih diprioritaskan dibandingkan mengadvokasi biaya APT langsung menghadap Dekan FF UI (Saat saya mengkonfirmasi ini ke Kholid, ia mengaku berada di luar kota sehingga tidak bisa hadir di pertemuan ini). Atau bisa jadi cukup Rezzqi selaku Kadept Adkesma yang melakukannya. (asumsi yang wajar, apalagi dengan kondisi kebijakan yang sifatnya mendadak. Menghadirkan perwakilan lembaga adalah pilihan yang cukup logis).

Yang menjadi lucu bagi saya adalah, Dekan FF UI sendiri menanyakan,” Di mana Ketua BEM nya? Saya belum pernah lihat itu ketua BEM nya.” Menarik juga. (Dalam hal ini, saya melihat kecenderungan psikologis dari Dekan bahwa beliau [mungkin] merasa “dikeroyok” oleh beberapa mahasiswa dengan mengatas-namakan angkatan. Di sisi lain, perwakilan BEM sebagai lembaga resmi dari mahasiswa hanya satu orang. Selan itu, saya berasumsi adanya komunikasi politik yang kurang terjalin baik antara pihak BEM dan dekanat)

Semoga BEM FF UI 2015 selalu diberikan kekuatan. Jargon Produktif Berkarya, semoga tak hanya menjadi pemanis semata. (Aamiiin).

Pun yang saya rasakan saat ini, teman-teman 2011 sudah pasrah dan bingung apa yang harus dilakukan untuk biata APT ini (selain pada akhirnya mengikuti apa yang Dekanat putuskan, membayar 11 juta rupiah). Saya mengucapkan sangat terima kasih dan apresiasi kepada Rezqi dan Iwin atas bantuannya pada kami. Di sisi lain saya rasa perlu ada yang dievaluasi dan diperbaiki dalam BEM FF UI 2015. (Untuk menjawab kebingungan ini, saya akan berusaha menjelaskan di bagian berikutnya)

Semoga tulisan ini tidak hanya sekedar beredar di dunia maya, tidak hanya berakhir di layar-layar kaca smartphone kita. (Dan inilah yang saya lakukan. Atas hal ini, saya berterima kasih kepada Abdel)

Semoga ada tindak lanjutnya.

Semoga… (Aamiiin)

 

Abdelhaq Setya Subarkah
Farmasi UI 2011
IKM Aktif 2011
14 Agustus 2015

 


 

BAGIAN 2: KONFIRMASI KEPADA KHOLID (KETUA BEM FF UI 2015)

Saat saya menanyakan isu ini melalui whatsapp kepada Kholid, dia sendiri mengaku kaget dan terkejut atas kebijakan yang mendadak ini, yaitu H-2 dari waktu pembayaran kuliah. Sayangnya, dia tidak bisa hadir karena sedang berada di luar kota; ada keperluan PIMFI atau Pekan Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia. Karena itulah dia merasa secara kelembagaan, BEM telah mengamanahkan Kadept dan Wakadept Adkesma untuk langsung turun menghadapi isu ini.

Ia sendiri mengakui bahwa kebijakan ini akan sulit diganti dan sudah bersifat tetap, karena merupakan kewenangan otonomi fakultas (dalam hal ini dekan) yang diberikan melalui surat perintah dari Rektor pada 29 Juni 2015. Saya pribadi menilai bahwa jika surat ini sudah jauh diketahui sebelumnya, maka mahasiswa dapat melakukan langkah strategis dalam menghadapi permasalahan kebijakan BOPB Program Profesi. Rentang waktu, antara akhir bulan Juni sampai awal bulan Agustus, saya rasa cukup panjang bagi pihak dekanat untuk perumusan BOPB Program Profesi, maupun  bagi pihak mahasiswa untuk menawarkan diri terlibat aktif untuk melakukan advokasi agar tercapainya biaya kuliah yang berkeadilan.

Dalam surat tersebut, terdapat mekanisme penetapan batas besaran BOPB termasuk untuk pendidikan profesi yang dikembalikan ke masing-masing fakultas. Secara eksplisit, surat ini memperlihatkan adanya suatu kebebasan dari tiap fakultas rumpun ilmu kesehatan yang memiliki pendidikan profesi (FK, FKG, FIK dan FF) untuk menetapkan sendiri batas maksimal pembiayaan pendidikan yang dibebankan ke mahasiswa. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat gambar di bawah ini:

Surat Edaran Rektor Biaya Profesi UI

Selanjutnya, dari Kholid… Saya mendapatkan informasi berisi 8 poin yang merupakan hasil pertemuan dengan Pak Mahdi (Dekan FF UI) pada 10 Agustus 2015:

  1. 11 juta per semester mengikuti SK Rektor dan dapat dilihat di WEB. Saya tidak menemukan SK Rektor nomor berapa dan tahun berapa yang dimaksud oleh Kholid. Ia hanya memperlihatkan gambar surat edaran dari rektor kepada dekan fakultas yang mempunyai pendidikan profesi di dalamnya (FK, FKG, FIK dan FF). Akan tetapi di gambar tersebut terlihat adanya 1 lampiran yang berisi formulir BOPB Program Profesi. Secara umum, seperti saya sebutkan sebelumnya, surat edaran ini memperlihatkan adanya kewenangan dan otonomi khusus dari fakultas untuk menetapkan batas penetapan BOPB untuk program profesi.
  2. Subsidi 1 juta ditarik karena sekarang sudah tidak ada tes SIMAK yang dapat menjadi salah satu pemasukan fakultas. Hal ini dikarenakan lulusan S1 FF UI dapat langsung melanjutkan ke pendidikan profesi APT UI tanpa melalui tes masuk. Salah satu alasan logis namun seharusnya ada alternatif solusi lain dibandingkan harus menaikkan biaya kuliah atau pembebanan biaya penyelenggaraan pendidikan kepada peserta didik, seperti memaksimalkan unit ventura maupun dana dari masyarakat (hibah maupun pinjaman).
  3. Untuk biaya UKAI (Ujian Kompetensi Apoteker Indonesia), tidak termasuk ke dalam biaya 11 juta per semester, karena tes tersebut (dianggap) di luar biaya perkuliahan. Dan besaran biayanya sendiri masih simpang siur (belum ada kesepakatan IAI dan APTFI). Ket: IAI adalah Ikatan Apoteker Indonesia; APTFI adalah Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia. Dalam hal ini, BEM FF harus dapat memastikan angka ini. Jangan sampai ada faktor mendadak dan akhirnya terlambat dalam mengambil langkah strategis untuk menghadapinya
  4. Apabila masih ada keberatan, dapat mengajukan cicilan atau peminjaman ke fakultas. Menarik bahwa kebijakan mendadak ini diberikan solusi yang bagi saya terlalu terburu-buru dan mencari aman. Yaitu mekanisme cicilan dan peminjaman ke fakultas. Mirip dengan konsep student loan di beberapa perguruan tinggi di luar negeri.
  5. Kalau diturunkan kembali ke angka 10 juta maka fakultas akan bangkrut. Collapse. Saya tidak mempercayai adanya konsep bangkrut dalam institusi pendidikan. Kemungkinan yang terjadi adalah ketidakmampuan untuk membayar biaya tertentu yang bersifat tetap; seperti gaji dosen atau ketersediaan sarana-prasarana penunjang kegiatan pendidikan. Untuk ini, saya akan mencoba menjelaskan di bagian berikutnya.
  6. Untuk yang belum berubah tagihannya (dapat dicek di ATM) menjadi cicilan, harap lapor ke Kak Rezi maksimal besok jam 11 siang. Berdasarkan informasi dari Hendriq, ada hal yang tidak wajar terkait mekanisme pembayaran maupun nominal pembayaran. Mulai dari waktu pembayaran yang berubah, maupun kurang terintegrasinya besaran nomilal pembayran di dalam SIAK NG mahasiswa bersangkutan. Hendriq mengakui bahwa angka besaran nominal pembayaran di SIAK NG baru dapat dilihat tanggal 11 Agustus pada waktu sore hari. “Katanya ada yang ga bener di (bagian) keuangan UI”, begitu perkataan Hendriq yang menutupi diskusinya dengan saya atas isu ini.
  7. Peruntukan besaran biaya 11 juta akan diberikan oleh dekanat dalam minggu ini. Atau dengam kata lain akan diperlihatkan Student Unit Cost (SUC) biaya pendidikan profesi apoteker. SUC sendiri dapat dimaknai sebagai keseluruhan biaya yang dihabiskan seorang peserta didik dalam kurun waktu satu semester. Ini adalah PR (pekerjaan rumah) kedua dari BEM FF selain memastikan biaya UKAI. Yaitu memastikan akuntabilitas dan transparansi dari dana yang telah dibayarkan oleh peserta didik. Seperti pertanyaan saya pada bagian sebelumnya: kebijakan kenaikan itu harusnya diiringi dengan kejelasan ke mana saja dana itu pergi atau dihabiskan.
  8. Untuk teman-teman yang masih (merasa) keberatan dengan kebijakan baru ini, dapat meminjam ke fakultas. Caranya dengan membuat surat peminjaman dengan isi: nama, NPM, besaran pinjaman dan waktu pengembalian pinjaman, di TTD di atas materai. Lalu diserahkan ke bagian keuangan Fakultas (Mbak Wati) paling lambat besok (Selasa, 11 Agustus) jam 11 siang di RIK gedung A. lantai 3.

Keterangan tambahan dari Kholid yang perlu saya garisbawahi dalam isu ini ada tiga hal, yaitu

  1. BEM FF berencana akan melakukan diskusi publik yang bertujuan untuk menekan beberapa kontrak dengan pihak dekanat. Salah satu poinnya adalah tidak adanya kenaikan biaya pendidikan profesi secara mendadak di tahun berikutnya. Sepertinya masih ada beberapa poin lagi, namun Kholid tidak memberitahukannya kepada saya.
  2. Sebelumya terdapat penerimaan fakultas yang dapat diperoleh dari biaya tes SIMAK untuk pendidikan profesi. Akan tetapi, sejak SIMAK untuk pendidikan profesi bagi lulusan S1 Farmasi UI dihapuskan (setelah mendapatkan gelar sarjana langsung secara otomatis melanjutkan ke pendidikan profesi apoteker), maka angka 10 juta sebagai biaya yang dibebankan ke mahasiswa dirasa kurang untuk pemasukan fakultas. Angka 1 juta yang dianggap sebagai “subsidi” pun hilang atau sebagaimana diceritakan Kholid: subsidi 1 juta itu telah dicabut. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya angka 11 juta sebagai kebijakan biaya pendidikan profesi yang baru.
  3. Bagian kemahasiswaan fakultas tidak menghubungi Kholid sebagai pihak BEM (lembaga resmi kemahasiswaan), namun justru langsung kepada Abdel selaku ketua angkatan 2011. Kholid mengakui adanya missing link. Di sisi lain, saya berpendapat hal ini wajar karena angkatan 2011-lah yang terkena dampak langsung dari kebijakan kenaikan biaya profesi ini.

Bagi saya, alasan bahwa ketiadaan ujian masuk SIMAK mengakibatkan biaya perkuliahan naik adalah kecacatan logika yang cukup fatal. Beberapa pertanyaan yang timbul setelahnya adalah:

  1. Andaikan saja SIMAK pun masih ada, bagaimana bila jumlah calon mahasiswa yang mendaftar untuk APT UI ternyata sedikit atau kurang dari apa yang direncanakan dalam anggaran?Akankah adapula kenaikan biaya pendidikan?
  2. Pun sebaliknya, bila memang tidak ada lagi SIMAK, maka bagaimana bila yang mendaftar untuk APT UI jumlahnya banyak? Bukankah ini pun menambah pemasukan sehingga tidak perlu lagi adanya kenaikan biaya pendidikan?
  3. Bukankah namanya ujian masuk apapun itu mempunyai kemungkinan untuk diterima atau tidak diterima? Bagaimana mungkin menghilangnya mekanisme ujian masuk menimbulkan korban dari mereka yang sudah pasti dapat melanjutkan/diterima?
  4. Dapatkah saya mengasumsikan bahwa ujian masuk dan biaya perkuliahan dianggap kesatuan dana tersendiri yang diperoleh dari peserta didik, meskipun ia belum tentu diterima? Bukankah uang perkuliahan (sebagai biaya untuk penyelenggaraan pendidikan) seharusnya dibedakan secara akuntansi dengan uang ujian (sebagai biaya untuk penyelenggaraan seleksi masuk)?
  5. jika saya mengacu pada SK Rektor nomor 1066 tahun 2013, peraturan rektor nomor 4 tahun 2015 maupun penjelasan mengenai program pendidikan profesi apoteker di web resmi UI, maka BOPB untuk profesi apoteker UI memang sebesar 11 juta dan bukan 10 juta. Biaya 10  juta yang dibebankan pada angkatan 2010 (atau sebelum tahun 2015) merupakan hasil dari adanya “subsidi” yang dibayarkan oleh fakultas sebesar 1 juta rupiah. Pertanyaannya, mengapa subsidi itu hilang? Jika memang ketiadaan SIMAK sebagai mekanisme ujian masuk bagi S1 Farmasi UI adalah alasannya, mengapa pihak fakultas maupun UI tidak mencari sumber pendapatan lainnya; alih-alih justru kembali membebankannya kepada mahasiswa?

 

BAGIAN 3: ANALISIS DAN OPINI PRIBADI

Berdasarkan keterangan yang saya dapatkan di atas, maupun beberapa informasi yang telah saya ketahui sebelumnya tentang kebijakan kampus, maka saya memiliki analisis sederhana atas apa yang terjadi dalam isu kenaikan biaya profesi ini. Kampus UI memang sudah seperti korporat. Hal ini dapat dilihat dari skripsi Januardy (2014) yang memperlihatkan adanya korporatisasi dan komersialisasi pada universitas publik, yaitu Universitas Indonesia. Hal ini ditegaskan pula melalui isu ini. Adanya diksi collapse, bangkrut, tidak cukup membiayai dan lain sebagainya telah mencerminkann institusi pendidikan layaknya suatu badan usaha yang dapat mengalami keuntungan dan kerugian. Menurut Prasad (2005), pendidikan tinggi pun tidak terlepas dari konsep pasar (market) sebagai bagian dari globalisasi dan akhirnya berusaha beradaptasi dalam perspektif pasar ini. Staf pengajar dan administratif beradaptasi dengan menyatakan dirinya sebagai provider (penyedia) sedangkan murid atau peserta didik dianggap sebagai konsumen, dengan komoditas yang disebut sebagai ‘pengetahuan’. Tenaga sosial lainnya yang berkontribusi untuk mendukung sistem ini (pemerintah, komunitas, orang tua, dan lain sebagainya), dianggap sebagai stakeholder atau pemangku kepentingan, yang mana mereka akan mendapatkan keuntungan, baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang sebagai hasil dari investasi mereka atas pendidikan. Logika pasar inilah yang berkaitan erat dengan konsep komersialisasi pendidikan maupun otonomi tata kelola pada perguruan tinggi.

****

Jika dilihat lebih khusus, memang berdasarkan pasal 63 UU Pendidikan Tinggi, konsep otonomi yang diterapkan oleh Indonesia didasarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, serta efektivitas dan efisiensi. Saya menyoroti prinsip nirlaba pada otonomi perguruan tinggi, bahwa yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan (penjelasan pasal 63 huruf c UU Pendidikan Tinggi). Mengacu pada hak ekosob internasional yang kemudian diratifikasi dalam UU 11 tahun 2005, hak atas pendidikan tinggi bersifat dapat diakses oleh semua pihak, namun tidak bisa digratiskan dan diwajibkan begitu saja sebagaimana pendidikan dasar. Hak atas pendidikan tinggi haruslah secara progresif menuju pendidikan gratis.

Atas dasar tersebut, penyelenggaraan pendidikan tinggi pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan keuangan negara dalam alokasi dana pendidikan. Peserta didik dapat dibebankan biaya atas pendidikan atas dasar nirlaba dan hanya untuk menutupi biaya operasional yang tidak bisa dipenuhi oleh alokasi keuangan negara. Prinsip nirlaba dalam otonomi perguruan tinggi ini menjadi dasar bahwa peserta didik haruslah dilindungi dalam pembebanan biaya pendidikan yang tidak mampu dipenuhi oleh negara, khususnya pada perguruan tinggi berstatus PTN BH. Hal ini dijelaskan dalam peraturan terbaru mengenai PTN BH, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Penetapan Tarif Biaya Pendidikan pada PTN BH. Pada pasal 2 Permendikbud tersebut, disebutkan bahwa PTN BH menetapkan tarif biaya pendidikan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi: 1) mahasiswa; 2) orang tua mahasiswa; atau 3) pihak lain yang membiayai mahasiswa. Perlindungan atas pembiayaan yang diperoleh dari peserta didik ini diperkuat dengan hasil judicial review UU BHP yang menjadi dasar pendirian status badan hukum pendidikan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya saat itu menyebutkan bahwa:

“Dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.” (Putusan MK nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)

Sekalipun demikian, semua peraturan yang telah disebutkan sebelumnya tidak dapat menjelaskan penetapan persentase dari sumber-sumber penerimaan yang diperolehnya, baik dari pemerintah maupun masyarakat termasuk peserta didik. Ketidakjelasan persentase sumber penerimaan pada perguruan tinggi otonom ini kemudian berpotensi menimbulkan komersialisasi pada pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan berorientasi pada profit (Hill, 2006). Dalam hal ini, institusi pendidikan tinggi yang otonom berusaha menutupi kekurangan pendanaan yang didapatkan dari pemerintah dengan membebankannya pada peserta didik secara berlebihan.

Berdasarkan hal tersebut, komersialisasi pendidikan pada dasarnya dilegalkan dalam peraturan dan undang-undang terkait yang kemudian dibatasi oleh prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Akan tetapi, ketika surplus yang didapatkan dalam komersialisasi pendidikan tersebut melebihi dari anggaran penerimaan yang didapatkan dari negara (APBN), maka hal tersebut dapat dilihat sebagai pelanggaran etika yang dilakukan oleh institusi pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan salah satu hak yang dijamin oleh negara. Selain itu, berdasarkan prinsip nirlaba dalam otonomi perguruan tinggi, maka pencarian pendanaan melalui sumber lain, termasuk peserta didik semata-mata dilakukan untuk menutupi biaya pendidikan yang tidak dapat dipenuhi bila hanya bergantung pada alokasi yang diberikan oleh negara. Komersialisasi pendidikan secara berlebihan inilah yang bertentangan dengan prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia, yaitu pembiayaan pendidikan yang didapatkan peserta didik tidak digunakan untuk menutupi kekurangan alokasi dana pemerintah, melainkan sebagai sarana pencarian keuntungan (surplus) semata

****

Memandang isu ini, saya teringat diskusi yang saya lakukan setahun lalu dengan salah seorang dosen UI. Menurut beliau, terdapat reformasi birokrasi dari pemerintahan pusat yang mengharuskan adanya tunjangan kinerja bagi mereka yang berstatus sebagai PNS, bahkan untuk mereka yang tidak berstatus PNS mendapatkan tunjangan juga. Di sisi lain, kebijakan di internal PTN berstatus badan hukum pun menghabiskan biaya yang tidak sedikit, yaitu kebijakan remunerasi. Lanjut beliau, saat ini tidak ada staf pendidikan yang dibayar murah karena harus mengikuti kebijakan remunerasi tersebut. Namun, dikarenakan adanya tunjangan kinerja sebagai kebijakan baru, maka anggaran membengkak. Beberapa dekan mengeluhkan besarnya anggaran yang harus dikeluarkan untuk mengeluarkan “kewajiban-kewajiban” tersebut. Dan lagi… saya masih ingat bahwa beliau memakai diksi collapse untuk menggambarkan kondisi tersebut jika dibiarkan berlarut-larut.

Dalam diskusi lain dengan dosen yang berbeda, saya mendapatkan statement yang cukup menarik bahwa dalam Undang-Undang Dikti (pendidikan tinggi) memang diperbolehkan mencari untung, dengan kata lain: Universitas tidak dilarang dalam mencari keuntungan. Lanjut beliau: “disebutnya (dalam UU Dikti ‘tidak mengutamakan keuntungan’ bukan? Tapi bukan berarti tidak boleh mencari keuntungan bukan? Lalu harusnya bagaimana? Ya, namanya sektor publik di mana-mana itu rugi. Kesehatan dan pendidikan itu rugi kalau dari aspek ekonomi ya. Kenapa harus rugi? Ya, karena fungsi sektor tersebut adalah mereproduksi. Namanya reproduksi itu tanggung jawab negara. Lalu bagaimana harus untung? Ya, kamu tekan pajak. Kamu membuat industrialisasi yang lebih besar. Supaya negara tidak rugi.” Mendengar itu semua saat itu, saya hanya terdiam dan mengangguk-ngangguk tanda setuju.

****

Kembali kepada isu kenaikan biaya profesi, saya melihatnya sebagai suatu keniscayaan yang akan dapat terus terjadi selama institusi pendidikan masih melihat dirinya sebagai pasar (market). Apalagi, secara eksplisit dapat dilihat bahwa kebijakan penetapan batas biaya pendidikan yang ditanggung peserta didik ini sangat kental dengan konsep otonomi. Adanya “kebebasan” dari pihak fakultas dalam mengatur alokasi keuangan dan (rencana) penerimaan yang didapatkannya dari mahasiswa telah memperlihatkan adanya kecenderungan otonomi tata kelola tersebut.

Hal ini begitu sederhana. Karena berdasarkan sumber-sumber penerimaan yang ada, maka selain pemerintah (melalui APBN/APBD), maka peserta didik merupakan salah satu sumber penerimaan yang bersifat pasti dan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat; dibandingkan dengan penerimaan melalui masyarakat (melalui pinjaman atau hibah) maupun dari unit ventura (penelitian, kerja sama industri ataupun sewa usaha yang sangat bergantung dengan kemampuan manajerial fakultas). Wajarlah bila sekalipun terkesan mendadak, namun implementasi kebijakan pembebanan biaya pendidikan kepada peserta didik ini dapat berjalan begitu saja: tanpa halangan berarti

****

Saya sendiri akhirnya memandang terdapat beberapa solusi untuk melihat isu ini, khususnya yang dapat dilakukan mahasiswa:

Pertama, adanya mekanisme transparansi dan akuntabilitas atas dana yang diperoleh dari mahasiswa. Mekanisme ini akan mencegah penyalahgunaan wewenang maupun anggaran yang seharusnya dapat digunakan demi perkembangan ilmu pengetahuan maupun institusi pendidikan. Adanya kejelasan sumber penerimaan, alokasi pembiayaan, maupun biaya yang sepantasnya dapat dibayarkan oleh peserta didik menjadi penting. Seharusnya perencanaan mengenai penerimaan dari peserta didik adalah opsi terakhir setelah memaksimalkan sumber penerimaan lainnya (pemerintah, masyarakat maupun ventura). Berbagai istilah terkait biaya: SUC, besaran matriks BOPB, UKAI, sistem pencicilan maupun peminjaman dapat terintegrasi dengan baik. Tidak saling tumpang tindih. Dan justru membingungkan peserta didik.

Kedua, mahasiswa bersatu untuk membicarakan solusi yang tepat agar kejadian serupa tidak terjadi ke depannya. Terjadinya kenaikan setiap tahun seharusnya sudah cukup menjadi pembelajaran bahwa mahasiswa dapat dibebankan biaya pendidikan begitu saja, tanpa tekanan berarti. Konflik internal justru hanya akan menjadi bahan gunjingan yang tidak baik untuk ke depannya. Mahasiswa harus dapat merumuskan alternatif solusi terbaik atas diri mereka sendiri dan jua mewariskannya untuk generasi selanjutnya

Ketiga, organisasi mahasiswa sudah seharusnya memiliki komunikasi politik yang baik dengan pihak rektorat (untuk tingkat UI) dan dekanat (untuk tingkat fakultas); maupun di internal mereka sendiri. Adanya MWA UI UM maupun BEM-DPM di tingkat fakultas seharusnya dapat menjadi kekuatan tersendiri untuk melawan sistem yang kurang adil. Terkadang ada beberapa peraturan universitas yang dilanggar (tidak sesuai) fakultas, pun ada pula kebijakan fakultas yang kurang dilihat di tingkat universitas.

Keempat, sudah dapat memprediksikan terkait pembiayaan yang dibebankan peserta didik. Ini adalah isu tahunan yang selalu muncul-tenggelam. Selama hal ini tidak jelas dan labil, maka tahun depan akan terus terulang kejadian yang (hampir) serupa. Menuntut BEM Fakultas begitu saja pun bukanlah hal yang bijak. Pun jua dengan mempertanyakan keberadaan dari sosialisasi kebijakan. Kadang ada hal-hal dalam hidup yang memang harus diperjuangkan sendiri atau kemudian maju secara bersama-sama tanpa harus saling menjatuhkan. Di sisi lain, memang terdapat amanah lebih dari para “wakil mahasiswa” untuk lebih aktif menjemput bola. Lembaga kemahasiswaan bukan hanya penambah daftar CV, aktualisasi diri apalagi event organizer. Ia adalah jembatan penghubung bagi pihak-pihak yang berkepentingan atas nama mahasiswa

Kelima, dapat menambah jumlah mahasiswa yang berasal dari luar UI hingga menambah pemasukan fakultas. Di sisi lain, kerjasama industri, penelitian, sewa lahan, retribusi dan sumber pemasukan lainnya (selain pemerintah dan mahasiswa) dapat dimaksimalkan di tingkat fakultas. Hal ini tentu agar ke depannya pembebanan kepada peserta didik tidak terjadi secara berlebihan

****

Selain itu, dalam ranah (alternatif) solusi… saya mendapatkan insight menarik dari salah seorang sahabat saya mengenai isu ini. Ia baru saja membaca buku “Bad and Good Strategy” karya Rumelt dan mengutip bahwa strategi itu kumpulan tindakan yang terfokus untuk menghalau semua hambatan guna tercapainya tujuan tertentu. Tujuan yang benar adalah tujuan yang fokus atau dengan kata lain terarah. Selanjutnya, saya akan mengutip beberapa pernyataannya mengenai isu ini dan dikaitkan dengan buku yang baru saja dibacanya

“ngeliat mahasiswa sama isu kampus boro-boro kayaknya strategi, tujuan aja kayaknya ga ada.”

Komentarnya yang jujur dan frontal itu membuat saya merefleksi diri. Isu ini sebenarnya sudah sangat terlambat untuk bergerak. Hal ini dikarenakan kebijakan sudah berjalan dan diimplementasikan; di mana seharusnya dapat dicegah untuk kemungkinan terburuk saat masih dalam tahap perumusan kebijakan. Dan tentang perumusan kebijakan ini, seharusnya dapat diketahui baik di tingkat universitas, melalui MWA maupun di tingkat fakultas melalui lembaga kemahasiswaan (BEM-DPM).

“Bagaimana ya kak, mahasiswa itu emang lagi masa dan hobinya gini kali ya. Berputar-putar di logika yang sama. Tetap hajar sini hajar situ. Tapi sebenarnya arahnya gak jelas. Naiknya biaya profesi ini kegagalan banget buat yang megang sekarang”

Diksi “Yang megang sekarang” dalam perkataan sahabat saya tersebut ditujukan kepada para mahasiswa yang berkuasa atau memiliki status dan jabatan tertentu secara legal formal. Ia melanjutkan bahwa mereka “yang memegang” tersebut terjebak dengan strategi teknis. Ini tentu menjadi otokritik yang menarik bahwa terkadang kebutuhan untuk eksistensi dan bergerak secara cepat (atau terselimuti dengan kata strategis) justru berujung pada tidak adanya strategi. Bahkan kurang terlihat dari segi esensi atau apa sebenarnya yang ingin disampaikan. Biaya kuliah murah terjangkau memang harus diperjuangkan, namun di sisi lain ada juga pembiayaan (alokasi pengeluaran) yang bersifat wajib dan harus ditunaikan. Apalagi dari FF yang berstatus masih baru membangun sistemnya. Maka memang membutuhkan biaya yang tentunya tidak sedikit.

“Buat gue, solusinya cuma satu: keuangan terintegrasi. Sharing duit (profit). Mau mengharapkan apa dari farmasi yang baru membangun fakultasnya sendiri? Kalau tetap menuntut transparansi itu backfire banget. Selain itu, FK misalnya itu pun “serakah”. Dia memborong kerjasama industri di bidang kesehatan. Perusahaan obat kimia farma itu “nyumbang” berapa coba buat FK? Kasih kek ke farmasi yang emang (secara keilmuan) sinkron.”

Sebagai tambahan informasi, saya sendiri berpendapat bahwa farmasi memang bukanlah fakultas yang direncanakan keberadaannya berdasarkan master plan UI tahun 2008. Solusi yang ditawarkan sahabat saya di atas memang menjadi hal yang menjadi perdebatan sejak lama, yaitu mengenai (de)sentralisasi keuangan. Kebijakan memusatkan semua potensi pendapatan di tingkat universitas pada masa rektor sebelumnya pun tidak selamanya berjalan baik. Beberapa kali saya mendengar keluhan dari dosen yang tidak dapat mencairkan dana penelitian tertentu; atau ternyata dana tersebut terlambat turun sekalipun ternyata dananya sudah tersedia. Di sisi lain, di pihak universitas seringkali merasa banyak pusat kajian ataupun dosen-dosen yang “bermain” sendiri dan mengatasnamakan UI dalam melakukan kegiatan tridharma perguruan tinggi; kemudian mendapatkan keuntungan pribadi atasnya. Belum lagi, memang ada beberapa fakultas dengan “lahan basah” dengan banyaknya investasi atau ikatan alumni yang begitu kuat di dalamnya. Sebaliknya, ada beberapa fakultas yang walaupun secara produksi ilmiah diakui hingga tingkat dunia; atau secara mahasiswa jumlahnya cukup banyak, ternyata tetap saja “kering” secara finansial.

Sebenarnya situasi  paradoks tersebut dapat dicegah melalui pendataan administrasi yang baik dan terintegrasi secara struktural, sejak dari MWA, rektor, DGB, SA hingga ke bawahnya. Akan tetapi, marilah kita pun (sebagai mahasiswa) berkaca bahwa kemahasiswaan pun secara administrasi ternyata kurang baik. Ada berapa lembaga kemahasiswaan yang ada di UI? Berapa yang diakui oleh pihak kemahasiswaan? Berapa (potensi) dana yang seharusnya bisa diperoleh dan merupakan hak masing-masing lembaga kemahasiswaan tersebut? Bagaimana fungsi antar lembaga itu berjalan? Bagaimana selama ini hubungan antara lembaga tingkat universitas dan fakultas? Agaknya, pertanyaan-pertanyaan tentang dunia kita ini pun sulit untuk menemukan muara jawaban bukan?

 ****

Terakhir, Mengulang apa yang saya sampaikan di awal tulisan. Saya berharap tulisan ini merupakan salah satu hal yang bisa berkontribusi positif (dan semoga tidak memperkeruh suasana) dari apa yang baru saja terjadi dari fakultas bermakara biru hijau ini. Lagipula, jika tahun depan (ada kemungkinan) akan terjadi kenaikan biaya kuliah kembali, maka seharusnya kasus tahun ini telah menjadi pelajaran berharga agar mahasiswa sebagai salah satu stakeholder kampus ini dapat turut serta dalam merumuskannya.

Ya. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari tulisan sederhana ini.

Aamiin 🙂


Sumber Referensi:

Hill, Dave. (2006). Education Services Liberalization. dalam E. Rosskam (Ed) Winners or Lossers? Liberalizing Public Service. Genewa: International Labour Organisation.

Januardy, Alldo Fellix. (2014). Pengaruh Neoliberalisme terhadap Korporatisasi dan Komersialisasi Universitas Publik: Studi Kasus Universitas Indonesia. Depok, Indonesia: Universitas Indonesia

Prasad, Madhu. (2005). Autonomy and Commercialization of Higher Education. Social Scientist, Vol. 33, No. 11/12, 43-48

Leave a comment