Nilai Dosen (di pandangan sebelah mata saya)



Berawal dari hasil nilai satu mata kuliah tahun lalu, saya pun mencari tahu hubungan dosen dan nilai yang dikelarkannya. Iseng-iseng, akhirnya menemukan bahwa ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 37 tahun 2009 tentang Dosen. Pada bagian kesebelas dari PP tersebut, tentang Pemberian Penilaian dan Penentuan Kelulusan Mahasiswa, pasal 29 dikatakan bahwa:

(1) Dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan mahasiswa sesuai dengan kriteria dan prosedur yang ditetapkan oleh perguruan tinggi dan peraturan perundang-undangan.

(2) Penilaian dan penentuan kelulusan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dosen secara objektif, transparan, dan akuntabel.

Di sinilah saya merasa (dan semoga aja perasaan ini adalah kesalahan) bahwa beberapa dosen tidak melakukan 3 nilai dasar tersebut, yaitu obyektif, transparan dan akuntabel.

Obyektif artinya tidak memihak, tidak melakukan suatu diskriminasi, dan mempunyai indikator yang sama dalam melakukan penilaiannya. Menurut KBBI sendiri, objektif adalah keadaan yg sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Transparan artinya mudah diakses oleh siapa saja, hasil yang jelas secara ontologisnya, dan tidak mengada-ada (terbatas). Menurut KBBI sendiri, transparan berarti jernih atau nyata; jelas atau bisa juga dikatakan tidak terbatas pd orang tertentu saja; terbuka. Dan terakhir, akuntabel artinya dapat dipertanggungjawabkan, mudah dalam memperoleh pelaporannya, dan mempunyai mekanisme yang jelas/ terarah.

Jadi, bagaimana pendapat saya tentang nilai dosen? Fakta yang saya terima adalah nilai dilakukan semaunya, seenaknya, tanpa tidak diketahui mahasiswa, dan (bisa saja) secara tiba-tiba nilai sudah keluar. Hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu sajalah (yang terkadang mendapatkan label pintar) yang dapat mendapatkan nilai-nilai dengan angka A atau B. Bisa jadi diskriminasi nilai terjadi karena alasan perbedaan perspektif antara mahasiswa dan dosen, atau bahkan karena masalah gender.

Mahasiswa (yang saya lihat) akhirnya hanya bisa pasrah, legowo saja mendapat keadaan seperti demikian. Kelangkaan dosen yang sesuai dengan PP tersebut menyebabkan hampir semua mahasiswa menjadi pesimis akan nilai-nilai yang akan dikeluarkan oleh dosen yang telah terkenal killer, “berbeda”, pukul rata dengan nilai pas-pasan, dll. Optimisme massal akhirnya terjadi dengan pendapat bahwa akan turun IPS/IPK nya, atau siap-siap nilai sekelas akan dipukul rata atau yang paling buruk, ya… mengulang lagi pada tahun berikutnya dengan dosen yang masih sama.

Fenomena tersebut bagi saya sendiri bak lingkaran setan yang terus menerus berulang tanpa adanya perubahan dari dosen itu sendiri. Mengapa saya berani berkata demikian? karena kisah kisah dosen tertentu yang memang (seolah) diwariskan dari senior-senior itu tetap ada dan itu terus menerus mengulang (berpola). Seperti kita (sebagai mahasiswa) bisa tahu bahwa ada cerita kalau dosen X sukanya ini, tak sukanya itu, berbeda dengan dosen Y yang seperti ini, type nya begini, dan seterusnya.

Lalu, impian semua mahasiswa agar cepat lulus, cum laude (kalau bisa), langsung dapat kerja, dan impian-impian lainnya seolah pupus ditelan arus. Di sini, saya juga melihat bahwa mas/ mba, atau bapak/ ibu dosen sangatlah sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat akademis, tuntutan-tuntutan tertentu dari “atas”, dan lain sebagainya. Akan tetapi, saya sebagai mahaasiswa, anak dari bapak/ibu sekalian sangat berharap nilai yang keluar itu mempunyai 3 sifat tersebut. Saya pernah was-was menunggu nilai, akhirnya keluar di akhir masa pengisian nilai di internet oleh dosen, dan kemudian sedikit kecewa dengan hasil tersebut, seolah dosen tidak melihat proses yang berjalan.

Sayang bermilyar sayang, keadaan dilema seperti ini dinilai negatif oleh orang tua saya. Hasil yang keluar dianggap kurang memuaskan maka disalahkan ke saya. Nilai IPS/IPK turun, yang disalahkan kembali saya, dan seterusnya. Nasehat yang selalu keluar adalah jangan salahkan lingkungan dan jangan salahkan dosen.

Bagi saya pribadi, memang saya salah dalam hasil nilai yang mungkin kurang memuaskan, tapi terkadang pada kasus-kasus tertentu, memang faktor dosen lah yang menentukan semuanya. Dosen ibarat dewa yang berjulukan holy shit dalam permainan dota, hacker dalam jaringan sistem informasi, Nabi bagi umat mahasiswa, Tuhan bagi takdir nilai mata kuliah. Semua kata-katanya bagaikan wahyu bahwa A adalah A, meskipun dari saya terkadang inginnya bukan seperti itu, tetapi tetap saja A adalah A.

Lalu, nilai-nilai tri dharma perguruan tinggi di mana? Orientasi pendidikan untuk memerdekakan dan memanusiakan manusia ke mana? Terkadang saya tersenyum sendiri saat memikirkan pertanyaan ini. Semuanya seolah bak kabut di pagi buta yang pergi menghilang di siang bolong. Salah satu akibat nyatanya adalah mahasiswa UI pun menjadi memilah dan memilih sendiri untuk dapat kelas dengan dosen-dosen tertentu yang berpeluang besar mudah mendapatkan nilai tinggi. Sehingga untuk kelas dengan dosen tertentu bisa langsung penuh kuota mahasiswanya sejak pengisian pertama kali, bak ibu-ibu yang mempeributkan barang diskon di supermarket.

Saya berharap tulisan ini menjadi refleksi bagi kita bersama. Mungkin saja mahasiswa abad 21 ini mulai dimanja dengan sistem pendidikan yang ada sekarang, karena bila mendengar cerita2 para mahasiswa abad 18-20, mereka jauh.. (jauh banget banget banget) lebih menderita dalam memperoleh pendidikan bila dibandingkan sekarang, baik dari sarana maupun prasarana. Selain itu, mahasiswa juga bisa merefleksi bahwa nilai juga tidak sepenuhnya salah dosen, bila ada yang bisa mendapatkan nilai yang bagus, seharusnya yang lainnya (termasuk saya) pun bisa mendapatkan hak yang sama.

Di sisi lain, semoga sistem EDOM yang diisi setiap semesternya oleh mahasiswa benar benar menjadi evaluasi besar bagi para dosen. Yah, walaupun bebrapa mahasiswa mengisinya dengan malas karena merasa dosen yang dievaluasi nya tidak berubah dari tahun ke tahun melalui pewarisan cerita dari para seniornya.

Terakhir, saya mengutip perkataan dari Soe Hok Gie. “Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.” Semoga dosen UI ke depannya menaati apa yang tertulis di peraturan itu. Semoga.

Leave a comment